For you, who was ate me alive.
Kamu,
Seakan selalu kamu yang benar dan aku yang salah.
Aku,
Bodoh, berdiri diam berusaha memberi warna namun memperkeruh suasana.
Benci sekali melihat hal-hal ini terus terjadi.
Kamu, mencampur diksimu dengan gejolak amarah. Seakan,
“Okay, kita akan berakhir dalam hitungan menit!” tapi terus mengejar,
memberi harapan.
Jika aku jujur, maukah kamu mendengar itu sebagai subyektifitasku
yang nantinya kamu olah dengan hasilmu, sehingga kita satu namun tanpa
ada bisu.
Mereka,
Ijinkan mereka masuk. Agar lubang tak lagi renggang, agar bocor tertutupi secuil kail pengakrab.
Kita,
Susuri lorong gelap, mendaki hamparan terjal, terjun bergenggam tangan.
Kembali padaku, klise-kan hari-hari dulu.
Sehingga kamu, datang dengan wajah itu lagi, tekukan yang kubenci.
Kemudian mereka tersihir olehmu, diam takut saat berhadap denganmu.
Sukakah kamu dengan itu? Wajah yang itu? Tekukan itu? Rasa takut yang memburu? Cemburu yang terus-terus membuat tugu?
"Tidak." Jawabmu. Lalu kenapa hal itu terus saja terjadi? Terus kau biarkan datang merenggut batin hatimu?
"Karena kamu." Jawabmu lagi. Aku merusak mainanmu, dan membiarkan kamu menyihirnya — yang takut, namun menyayangimu.
Kita,
Memang tak pernah benar menjadi teman. Memupuk iri dan menebar duri. Bukan variable yang saling dukung, asik tikung sambil bersenandung. Kita bersaing demi tawaan, kita membuat suatu pertandingan dengan entahlah siapa berhak menjadi juara.
Kamu dan aku menyadarinya. Saling tendang, saling makan.
Kita, rival, kawan.
PS: Remember this, I'm who I am, and you are who you are.
No comments:
Post a Comment