"With peaks of joy and valleys of heartache, life is a roller coaster ride, the rise and fall of which defines our journey. It is both scary and exciting at the same time." - Sebastian Cole

Wednesday, February 25, 2015

Let It Snow - Dalam Derai Salju


Judul: Let It Snow - Dalam Derai Salju
Penulis: John Green, Lauren Myracle, Mauren Johnson
ISBN: 978-602-03-1151-7
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama, 2014.

Blurb:
Badai salju pada malam Natal ternyata bisa mengubah kota kecil menjadi tempat yang romantis. 
Siapa kira jalan kaki di tengah cuaca dingin dan basah akibat kereta api mogok dapat berakhir dengan ciuman mesra dari kenalan baru yang menawan. Juga perjalanan menembus tumpukan salju menuju Waffle House ternyata dapat menimbulkan cinta pada teman lama. Dan cinta sejati ternyata bisa datang berkat giliran kerja pagi buta di Starbucks. 
Tiga kisah romantis karya tiga penulis bestseller ini – John Green, Maureen Johnson, dan Lauren Myracle – membuat kita percaya pada cinta sejati. 

Awalnya merasa Let It Snow bukan bacaan yang tepat untuk dibaca bulan Februari ini, namun saya sepertinya tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk membuka segel novel ini dan mulai membacanya. Berisi 3 cerita dari 3 penulis berbeda yang rasanya punya nyawa berbeda, tapi berhasil dirangkum dengan menyenangkan. So, now, let's review it.

The Jubilee Express - Maureen Johnson

Malam natal kali ini merupakan malam natal yang buruk bagi Jubilee. Tidak bisa bertemu pacarnya - Noah, ditambah dengan kenyataan bahwa orangtuanya harus masuk penjara akibat kekacauan Flobie. Hal itu membuat Jubilee harus menemui kakek dan neneknya di Florida untuk merayakan natal bersama. Seakan belum reda hal-hal buruk yang terjadi padanya, di tengah perjalanan, kereta yang ia tumpangi tergelincir dan terjebak di kota kecil bersama cowok gondrong kenalan barunya - Jeb dan para cheerleaders berisik. Jubilee memutuskan untuk keluar dari kereta dan menghangatkan dirinya di Waffle House. Tidak disangka-sangka, di sanalah dia bertemu dengan Stuart dan cerita lain dalam hidupnya dimulai.

Maureen Johnson berhasil menuliskan kisah perjalanan baru Jubilee dengan cenderung simpel namun memiliki magnet tersendiri untuk membuat pembaca tetap bertahan menamatkan ceritanya. Bukan kisah romantis yang menggebu-gebu, hanya pertemuan dua orang yang sebelumnya belum saling mengenal. Pikiran-pikiran Jubilee bisa tersampaikan dengan baik dan dialog-dialog asik berhasil dihadirkan di cerita ini. Walau terasa terlalu lambat alur ceritanya, namun terasa terlalu cepat juga cinta akhirnya datang, petualang Jubilee di kota kecil yang baru ia kunjungi ini sangat menarik untuk dinikmati. Saya yang awalnya tidak mengira kalau 3 cerita dalam novel ini bakal berhubungan, sempat sebal kok di cerita pertama ini banyak tokoh yang dimunculkan, tapi nasibnya tidak diselesaikan dengan tuntas. Setelah tau tentang hal itu, saya malah mengancung jempol karena Maureen Johnson berhasil mengenalkan tokoh-tokoh berikutnya dengan apik.

Favorite line:
Lagi-lagi aku lumayan cerdas dengan menyebut "kami" dan bukan "hanya aku sendiri yang menyebrangi jalan tol enam jalur di tengah badai salju". Aku juga tidak berbohong. Jeb, semua Amber, dan semua Madison juga menyeberang setelah aku meninggalkan jejak di jalur itu. Saat berumur enam belas tahun, kau harus pintar-pintar mengedit percakapan. (halaman 74) 
"Aku tidak kenal Stuart mana pun," kataku. "Kecuali Stuart Little. Dan Kau.""Benar banget. Siapa sih yang menamai anak mereka Stuart?""Siapa yang menamai anak mereka Jubilee? Itu bahkan bukan nama. Benda juga buan. Memangnya apa sih jubilee itu?""Itu semacam perayaan, kan?" kata Stuart. "Kau ini seperti perayaan keliling yang meriah." (halaman 85)

A Cheertastic Christmas Miracle - John Green

Tiga orang sahabat - Tobin, JP, dan The Duke - menghabiskan malam natal dengan marathon nonton film James Bond. Sampai ketika Don-Keun, sahabat mereka yang lainnya mengabarkan kabar baik untuk Tobin dan JP, bahwa Waffle House penuh denga cheerleaders! Don-Keun mengundang mereka untuk datang, namun dengan syarat: mereka hanya bisa masuk jika mereka datang sebelum si kembar dan para mahasiswa. Di tengah badai salju, Tobin dan JP memutuskan untuk berangkat, dan The Duke yang awalnya enggan, akhirnya tergugah mengingat hash brown, makanan kesukaannya. Kisah gila mereka menerjang badai dan kenyataan yang akhirnya terbongkar di mulai dari sini.

Cerita kedua karangan John Green yang saya baca setelah Looking for Alaska dan saya kembali dibuatnya jatuh cinta. Cerita sahabat jadi cinta memang bukan hal baru lagi, tetapi hal-hal lainnya yang mendukung cerita ini membuat saya tersihir entah kenapa. Saya suka tokoh-tokoh yang John Green hadirkan, celetukan-celetukan mereka khas anak SMA dan berhasil bikin saya ketawa atau setidaknya senyum-senyum. Sama seperti di Looking for Alaska, nama tokohnya juga bukan nama asli, melainkan nama panggilan yang asal-usulnya lucu juga. Dari segi cerita, oke lah. Buat sebuah novellet, ini menarik, ketegangannya kerasa, romance-nya juga lumayan. Walau alasan Tobin dan JP buat sampai ke Waffle House agak kurang kerjaan dan gila, menghadang badai cuma buat ketemu para cheerleader itu. Tapi tenang, ada alasan yang ternyata lebih mendalamnya kok. Selain itu, menurut saya, John Green berhasil menyambungkan cerita pertama dan ceritanya ini dengan halus.

Favorite line:
"Eh, ini bukan salahmu. Ini salah Carla. Kau kan tadi sudah memutar setirnya. Carla saja yang tidak mendengarkan. Aku tahu aku seharusnya tidak mencintainya. Dia seperti yang lain, Tobin: begitu aku menyatakan cinta, dia meninggalkanku." (halaman 144)

The Patron Saint of Pigs - Lauren Myracle

Natal yang menyedihkan untuk Addie. Jeb, mantan pacar yang masih ia cintai tidak datang saat ia mengundangnya ke Starbucks. Addie yang patah hati dan menyesal memutuskan untuk mengubah penampilan rambutnya dan kembali menangisi hidupnya. Ditemani Dorrie dan Tegan - sahabatnya, Addie curhat habis-habisan. Namun sekedar curhat tidak menyelesaikan masalah. Addie tetap harus menjalani kehidupannya sendiri. Hari esok tiba, dan walau hari natal sudah berlalu, mungkin keajaibannya masih bisa dirasakan.

Lauren Myracle berhasil menutup semua cerita dalam novel ini dengan indah! Cerita favorite saya. Yang saya suka, tokoh dalam cerita ini mengalami perubahan yang meyakinkan. Kisahnya jadi bukan hanya sekedar kisah cinta, namun ada cerita tentang tanggung jawab dan pencarian jati diri juga. Penutupnya benar-benar bagus, porsi dari semua tokoh utama yang sudah dikenalkan dan diceritakan di awal kumpul semua di sini.

Favorite line:
Astaganaga, apa perasaan ini sudah ada sejak dulu? Ketenangan batin yang sma sekali tidak rumit, pelik, dan penuh dengan aku, aku, aku? Karena wow, rasanya luar biasa. Rasanya sungguh murni. (halaman 299)

Overall, saya sangat menikmati buku ini. Rasanya asik, bisa kembali menikmati suasana liburan bulan Desember. Terjemahannya juga enak dibaca, salut sama penerjemahnya yang berhasil bikin bahasanya jadi luwes banget. Meskipun ada hal-hal yang kurang, seperti makin ke belakang, makin ketara typo-nya, walau gak banyak. Atau tata letak tulisan 'dua' di bab kedua di cerita kedua yang terlalu ke atas, tapi saya tetap bertahan buat membulatkan bintangnya tetap 5, karena saya merasa bahagia banget abis baca novel ini. Serasa memang semua orang, walaupun dia figuran di cerita orang lain, dia bakal jadi tokoh utama di cerita hidupnya sendiri. Pas baca, saya bayangin novel ini bakal seru deh kalau difilmin, dan katanya memang mau difilmin kan? Gak sabar buat nonton!

Recommended for you who love romance book and want to go back to December (just like Taylor Swift's song).
5 of 5 stars.

3 comments:

  1. wow 5 bintang...
    tp emang seru kayanya isinya yah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha, iya, Mbak. Ceritanya kayak romance biasa sebenernya. Cuma abis baca ini seneng aja, jadi kasih 5 bintang deh.

      Delete
  2. Ah, ini termasuk wishlistku sama yang Looking For Alaska-nya John Green ><

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...